Artikel Perlindungan Profesi



 
ANTARA PESERTA DIDIK, PENDIDIK DAN TANTANGAN PENDIDIKAN










Artikel Ilmiah
Bimbingan Teknis Perlindungan Profesi
Jenjang Pendidikan Menengah Tahun 2019








Verastuty, S.S, M.Kom
SMAN 14 Padang
Padang, Sumatera Barat









2019 


PENDAHULUAN

“Kok sayang ka anak, dilacuik” 
Pepatah Minang diatas memliki makna yang sangat dalam. Jika diartikan secara bahasa adalah “kalau sayang sama anak maka di cambuk.” Terdengar kejam memang. Tapi seperti itulah perumpamaan masyarakat Minang dalam mendidik anak-anak mereka. Masyarakat Minang yang menempatkan pemikiran bahwa anak adalah penerus generasi yang akan datang akan hidup di zaman yang akan lebih sulit dari zaman ketika si orang tua hidup. Inilah menjadi dasar bagi orang tua Minang untuk mempersiapkan anak-anak mereka agar kuat dan tegar menghadapi semua cobaan hidup. Kata lacuik yang berarti cambuk mengisyaratkan sebuah perlakuan keras buat si anak dari orang tua agar sang anak mengerti sebuah hal benar dan salah, baik dan buruk, patut dan tidak patut, serta pantas dan tidak pantas. Semua pendidikan karakter ini dimulai dari usia sedini mungkin. Karena mendidik tak akan pernah terputus. Mendidik sejak seorang insan hadir didunia hingga tarikan nafas terakhir dengan berbagai metode maupun cara. 
Maraknya kasus dimana guru dilaporkan ke pihak berwajib dalam kasus mendisiplinkan peserta didik kian marak beberapa tahun lalu di tanah air ini cukup membuat para pendidik ini berfikir dua kali untuk mendisiplinkan peserta didik. Banyak yang bersikap apatis dan masa bodoh dengan berfikir  “Daripada masuk penjara, lebih baik biarkan saja. Toh baik buruknya anak kedepannya nanti yang akan susah atau senang kan orang tuanya”, akan tetapi tak sedikit yang berfikir bahwa gurupun seharusnya tidak tinggal diam. Bagaimanapun, tuntutan profesi sebagai seorang pendidik yang dibebankan kepada guru demi masa depan yang cemerlang si anak tetap menjadi tanggung jawab guru. 
Tugas utama orang tua adalah mendidik anaknya. Orang tua seyogyanya menanamkan pendidikan karakter yang sejak dini pada anak-anak mereka. Bagaimanapun, mendidik seorang insan bukanlah perkara sebentar dan mudah. Perlu banyak pengorbanan dan kesabaran yang panjang dalam hal mendidik. Beratnya hal ini rasanya perlu disadari oleh orang tua. Seorang ahli, Widadi dalam sidang di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (11/7/2017) menyatakan "Tugas utama mendidik adalah orang tua. Begitu beratnya tugas mendidik, orang tua memberi mandat kepada guru untuk mendidik anaknya yang berhimpun dalam lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Kesadaran orang tua sebagai pendidik utama sangatlah penting bagi masa depan anak," Pernyatan Widadi tersebut seharusnya membuka mata para orang tua akan tanggung jawab utama mereka terhadap amanah yang Tuhan percayakan kepada mereka. Maraknya pengaduan orang tua akan perlakuan guru dalam mendisiplinkan anak mereka memperlihatkan begitu rentannya pemahaman orang tua terhadap sebuah tanggung jawab dalam mendidik.  
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa yang berperan dalam dunia pendidikan bukan hanya guru, namun juga orang tua, masyarakat dan pemerintah. Undang-undang ini telah mengisyaratkan bahwa guru bukanlah pemain tunggal dalam ranah pendidikan manusia Indonesia. Semua elemen bangsa wajib turut serta dalam dunia pendidikan. Bahkan pada Pasal 9 menyebutkan bahwa “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.” Dari sini dapat dipahami bahwa masyarakat luas turut ambil bagian dalam dunia pendidikan. 
Akan tetapi, kehidupan dalam dunia zaman now ini telah banyak menggeser budaya serta makna pendidikan itu sendiri. Dunia pendidikan sekarang ini sepertinya telah diamanahkan mutlak kepada institusi pendidikan (baca: guru). Sehingga jika timbul masalah ataupun ketimpangan, semua hal negatif tersebut dikembalikan kepada guru. Permasalahan yang timbul selalu dilimpahkan kepada guru sebagai terdakwa atas ketidak becusan dalam mendidik. Bahkan guru menjadi subjek tunggal atas kegagalan terbentuknya karakter  seorang insan. Dalam menjalankan kewajibanya sebagai seorang pendidik seringkali perlu melakukan tindakan fisik jika pendekatan halus tidak lagi mampu membangun karakter baik seorang peserta didik. Namun disinilah konflik terjadi. Orang tua merasa kesal bahkan marah jika seorang guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan cara yang mereka tidak setujui, misalkan memarahi, membentak, mencubit ataupun menjewer. 
Pemahaman orang tua tentang bagaimana membangun karakter disiplin dan bertanggung jawab dalam diri anak yang tidak selaras dengan guru menyebabkan para orang tua lantas mengadukan perlakuan guru tersebut kepada pihak berwajib yang tak jarang menyeret guru tersebut ke meja hijau. Para guru ini terjerat Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal yang menjerat guru itu berbunyi: “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.” Hal ini sangat disayangkan karena dapat menyebabkan si anak tidak dapat membedakan dan memahami makna dari benar salah ataupun baik buruk dalam menjalankan kehidupan ini. 
Beranjak dari uraian diatas, tujuan penulisan artikel ini adalah  untuk memaparkan sebuah pemikiran tentang fenomena antara peserta didik, pendidik dan tantangan pendidikan. Dunia pendidikan yang pada zaman now  ini sangatlah kompleks dengan segala dinamikanya membuat perlunya sinkronisasi antara  orang tua, guru serta masyarakat dan pemerintah. Pemahaman yang selaras dan sejalan serta seirama sangatlah diperlukan terutama bagi para insan penerus bangsa ini. 

PEMBAHASAN

Maraknya kasus orang tua yang mempolisikan guru karena kurangnya pemahaman orang tua akan perlunya melakukan tindakan-tindakan yang patut dalam rangka mendidik peserta didik. Orang tua, sebagai seseorang yang melahirkan peserta didik terkadang terlalu overprotective pada anaknya. Sehingga, ketika anaknya melaporkan akan tindakan yang kurang menyenangkan atau menyakitkan hatinya, sang orang tua langsung melaporkan guru tanpa adanya pemeriksaan ulang terhadap kebenaran laporan sang anak. Laporan Orang tua yang emosi tersebut tentu saja langsung ditindaklanjuti oleh pihak berwajib yang seringkali menyeret sang guru ke balik jeruji besi. Miris memang, tetapi itulah yang terjadi di beberapa belahan bumi Indonesia ini. Bukan satu dua kasus yang menjadikan guru seorang terdakwa dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. 
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7 ayat (1) huruf h mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kemudian, pada pasal 39 dalam Undang-Undang tersebut, secara rinci dinyatakan beberapa substansi sebagai berikut.
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas.
(2) Perlindungan meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,  pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain. 
Dari paparan kedua paragraf diatas, dapat dilihat bahwa sebuah perlindungan bagi para pendidik adalah suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan oleh guru. Bagaimana guru dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik jika tindakan menghukum yang dilakukan guru agar tercapainya sebuah pembelajaran disiplin dan pembentukan karakter peserta didik malah menjadi bumerang yang menjadikan guru seorang pesakitan dibalik jeruji besi.
Dengan kata lain, upaya guru sebagai pendidik yang ingin mendisplinkan peserta didik demi pembentukan karakter yang baik berbenturan dengan keinginan orang tua yang menomorsatukan kebahagiaan anak. Dalam melaporkan tindakan guru, orang tua tidak memikirkan akan dampak panjang mental anak yang dikemudian hari tidak dapat membedakan benar salah atau baik buruk sebuah tindakan yang dilakukannya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menjadi sebuah dasar pemikiran tindakan gegabah orang tua. Bagi guru yang tugasnya adalah sebagai pengajar dan pendidik menjadi berfikir berkali-kali dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Demotivasi guru sebagai pendidik ini dapat berakibat fatal akan hancurnya karakter anak bangsa. 
Kiranya dapat direnungkan sebuah pernyataan Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1978-1983.  “Tidak gampang untuk bisa mengatakan apa yang membuat suatu bangsa kokoh dan maju. Namun, mudah sekali untuk mengatakan kapan bangsa ini mulai goyah eksistensinya, yaitu bila generasi yang sedang berkuasa melalaikan pendidikan generasi penerusnya, melalui pelecehan terhadap kinerja pengabdi nomor satu di bidang pendidikan, yaitu guru.”
(Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1978-1983)
Goyahnya eksistesi guru sebagai seorang pendidik dapat menenggelamkan pendidikan karakter yang selama ini diigaungkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Karena bagaimanapun, sebuah pendidikan berarti pembentukan karakter yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. 
“.... Hanja goeroe jang benar-benar Rasoel Kebangoenan dapat membawa anak kedalam alam kebangoenan. Hanja goeroe jang didadanja penuh dengan djiwa kebangoenan dapat “menoeroenkan” kebangoenan kedalam djiwa anak”. (Soekarno,1963) 
Dalam perkembangan zaman now dimana era digital yang telah menguasai semua kalangan, bahkan tugas guru dalam mengajarpun telah dapat digantikan oleh tekhnologi. Adalah sebuah tantangan berat bagi guru agar dapat menjalankan profesinya sebagai pengajar dan pendidik. Mungkin tugas mengajar dapat dibantu dengan teknologi, namun bagaimanapun tugas mendidik tidak akan bisa digantikan oleh apapun. Karena sebagaimanapun hebatnya sebuah tekhnologi, ia tidak dapat memanusiakan manusia. Jika hal ini dapat dipahami oleh orang tua, maka kedepannya Insya Allah ketika orang tua mendengarkan cerita ataupun keluhan anaknya, ia tidak akan serta merta mengadu kepada pihak lain. Namun, akan percaya bahwa tindakan yang dilakukan guru tak lain tak bukan adalah sebuah tindakan untuk memanusiakan anaknya. Orang tua kan banyak melakukan komunikasi dua arah baik kepada anaknya sebagai peserta didik, maupun kepada guru sebagai pendidik. Komunikasi yang baik ini akan menjadikan sebuah kolaborsi yang ampuh dalam membentuk karakter anak hingga ia dapat menjadi insan cendikia yang cemerlang lahir dan batin.

KESIMPULAN

Pentingnya perlindungan terhadap guru adalah suatu hal yang harus dilakukan karena ia juga sebuah perintah undang-undang. Maraknya kasus yang menimpa para guru ketika melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, dapat menjadi sebuah bahan pemikiran bagi semua elemen bangsa ini. Tantangan terbesar guru adalah bagaimana menyelaraskan sebuah tindakan pendidikan bagi para peserta didik dengan orang tua peserta didik. Penyelarasan konsep pendidikan bagi anak (baca: peserta didik) antara guru dan orang tua adalah suatu hal yang sangat penting agar tidak terjadi konflik yang notabene akan sangat merugikan kedua belah pihak dan tentu saja si anak sebagai peserta didik yang akan menjadi korbannya. Dalam hal ini, komunikasi yang baik sangat penting antara guru sebagai pendidik, sekolah sebagai lembaga pendidikan dan orang tua serta masyarakat agar tercipta sebuah iklim yang kondusif dan nyaman dalam mendidik dan membentuk karakter hebat seorang insan cendikia Indonesia. 


DAFTAR PUSTAKA


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Comments

Popular Posts